Pojokseti : Ditemukan 5 bahan alami pembunuh rayap
Menurut catatan peneliti LIPI, terdapat lebih dari 200 spesies rayap
hidup di sebagian kepulauan Indonesia yakni Sumatera, Jawa, dan
Kalimantan. Pengendalian rayap menggunakan bahan kimia telah dilarang
karena beresiko terhadap kesehatan. Saat ini perkembangan teknologi
mulai mengarah pada pemanfaatan bahan ramah lingkungan.
"Risiko menimbulkan kanker bagi manusia akibat adanya persistensinya di lingkungan. Pada 1980-an, hampir di seluruh dunia telah dilarang penggunaannya," ujar Peneliti LIPI, Sulaeman Yusuf dalam Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Teknik Bahan di Kantor LIPI, Jakarta, Rabu 18 April 2012.
Kini Sulaeman menemukan cara pengendalian rayap dengan bahan alami. Alumnus Universitas Padjadjaran ini memanfaatkan ekstrak dari keanekaragaman hayati (biodiversity). Hasil risetnya menemukan bahan ekstrak dari buah bintaro, kecubung, nimba, tembakau, dan pohon upas (Antiaris toxicaria) efektif membunuh rayap.
"Kelima bahan ini yang paling efektif karena mengandung zat ektrak yang bersifat racun terhadap rayap," ujar Peneliti UPT Balai Litbang Biomaterial LIPI ini. Zat ekstrak yang ditemukan yakni azadirachtin dari mimba, certerin dari bintaro, dan nikotin dari tembakau. Kandungan ini menyebabkan racun pada kulit dan lambung.
Pemanfaatan ini dapat menjadi alternatif dari produk sintetik impor yang banyak beredar. Secara kapasitas, bahan pembuat racun ini banyak ditemui di Indonesia.
"Misalnya, bintaro itu banyak di pinggir jalan," ujar Sulaeman.
Saat ini bahan alami tersebut telah dalam tahap ujicoba di laboratorium dan selangkah lagi akan dapat diterapkan masyarakat. Lulusan Universitas Kyoto, Jepang ini akan menggunakan metode semprot (spray) dalam pengaplikasian racun.
"Yang di spray itu rayapnya, bukan kayu. Kalau dulu fokus pada perlakuan kayu, sekarang berubah fokus pada organisme perusak kayu," ujar peneliti yang menulis tesis dan disertasi mengenai kayu ini.
Menurut Sulaeman, pengendalian rayap tidak mudah mengingat kesadaran orang-orang belum tinggi terhadap ancaman rayap. "Bukan hanya masyarakat awam, orang yang pintar saja masih banyak yang belum mengerti," tambahnya.
Sebelumnya Sulaeman pernah menggunakan materi hayati seperti jamur. Sayang, cara ini memiliki kelemahan karena hanya mampu mengendalikan satu atau beberapa spesies rayap saja.
Kendati telah menemukan bahan ekstrak alami untuk pengendalian rayap, Sulaeman merasa masih perlu penelitian mendalam karena sifat kimia dan racun yang masih kurang stabil.
Peneliti bidang peningkatan sifat kayu ini mengharapkan pengembangan pengendalian rayap dengan bahan ramah lingkungan dapat dikembangkan. (eh)
"Risiko menimbulkan kanker bagi manusia akibat adanya persistensinya di lingkungan. Pada 1980-an, hampir di seluruh dunia telah dilarang penggunaannya," ujar Peneliti LIPI, Sulaeman Yusuf dalam Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Teknik Bahan di Kantor LIPI, Jakarta, Rabu 18 April 2012.
Kini Sulaeman menemukan cara pengendalian rayap dengan bahan alami. Alumnus Universitas Padjadjaran ini memanfaatkan ekstrak dari keanekaragaman hayati (biodiversity). Hasil risetnya menemukan bahan ekstrak dari buah bintaro, kecubung, nimba, tembakau, dan pohon upas (Antiaris toxicaria) efektif membunuh rayap.
"Kelima bahan ini yang paling efektif karena mengandung zat ektrak yang bersifat racun terhadap rayap," ujar Peneliti UPT Balai Litbang Biomaterial LIPI ini. Zat ekstrak yang ditemukan yakni azadirachtin dari mimba, certerin dari bintaro, dan nikotin dari tembakau. Kandungan ini menyebabkan racun pada kulit dan lambung.
Pemanfaatan ini dapat menjadi alternatif dari produk sintetik impor yang banyak beredar. Secara kapasitas, bahan pembuat racun ini banyak ditemui di Indonesia.
"Misalnya, bintaro itu banyak di pinggir jalan," ujar Sulaeman.
Saat ini bahan alami tersebut telah dalam tahap ujicoba di laboratorium dan selangkah lagi akan dapat diterapkan masyarakat. Lulusan Universitas Kyoto, Jepang ini akan menggunakan metode semprot (spray) dalam pengaplikasian racun.
"Yang di spray itu rayapnya, bukan kayu. Kalau dulu fokus pada perlakuan kayu, sekarang berubah fokus pada organisme perusak kayu," ujar peneliti yang menulis tesis dan disertasi mengenai kayu ini.
Menurut Sulaeman, pengendalian rayap tidak mudah mengingat kesadaran orang-orang belum tinggi terhadap ancaman rayap. "Bukan hanya masyarakat awam, orang yang pintar saja masih banyak yang belum mengerti," tambahnya.
Sebelumnya Sulaeman pernah menggunakan materi hayati seperti jamur. Sayang, cara ini memiliki kelemahan karena hanya mampu mengendalikan satu atau beberapa spesies rayap saja.
Kendati telah menemukan bahan ekstrak alami untuk pengendalian rayap, Sulaeman merasa masih perlu penelitian mendalam karena sifat kimia dan racun yang masih kurang stabil.
Peneliti bidang peningkatan sifat kayu ini mengharapkan pengembangan pengendalian rayap dengan bahan ramah lingkungan dapat dikembangkan. (eh)
Support By : HOLDING COMPANY ONLINE - andiseti Arsipkan berita di : POJOKSETI
From : VIVAnews: Shared via Indonesia News for Android.
From : VIVAnews: Shared via Indonesia News for Android.
Terkirim dari tablet Samsung